Panggilan Abraham: Dasar Panggilan Dan Tugas Israel
Pada awal kisah panggilannya; Abraham masih bernama Abram. Yahwe berfirman kepada Abram dalam bentuk perintah," pergilah" dan dalam bentuk janji," Aku akan membuat engkau menjadi bangsa besar" (Kej 12:1-2)
Ketika itu Abram hidup dalam kebudayaan sekitar sungai Efrat. Penduduk di sana hidup dalam peradaban kota. Terah ayah Abram sendiri turut membangun sebuah kota bernama Haran. Abram dipanggil keluar dari kebudayaan kota dan harus memulai suatu cara hidup baru; hidup mengembara dari satu tempat ke tempat lain tanpa perlindungan sebagaimana yang dapat dialaminya dalam sebuah kota yang kokoh di zaman itu.
Tentu bukan maksudnya hidup mengembara lebih baik dan lebih berkenan di hati Allah daripada hidup di kota pada umumnya. Kota yang harus ditinggalkan atas perintah Allah adalah kota sebagaimana yang digambarkan dalam Kej 11; kota-kota yang didirikan manusia untuk menantang dan melawan Allah; kota-kota yang didirikan manusia untuk menggantikan Allah dengan kepandaian mereka. Abram harus meninggalkan kota itu dan mempersiapkan pembangunan sebuah kota yang lain sama sekali. Kita itu akan didirikan Allah sendiri. "Karena iman, Abraham taat ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ditujuinya...sebab ia menantikan kota yang mempunyai dasar yang direncanakan dan dibangun oleh Allah" (Ibr 11:8-10).
Karena itu jelas, hidup mengembara di sini bukan tujuan panggilan Allah, melainkan suatu sarana untuk memurnikan dan membebaskan Abram dari keterikatan pada jaminan manusiawi. Dengan meninggalkan kota bapanya, Abram tidak memiliki lagi pegangan dan jaminan lain kecuali firman Allah yang menjanjikan tanah baru baru dan keturunan. Situasi inilah yang menjadi latar belakang pembentukan dan pendidikan iman Abram serta keturunannya menurut firman Allah. Dengan meninggalkan jaminan-jaminan yang dibuatnya sendiri, Abram memercayakan diri kepada janji yang diberikan Allah.
Tetapi jalan pembentukan iman kepercayaan itu memang panjang. Tidak lama setelah berangkat menanti firman Tuhan, Abraham jatuh ke dalam sikap yang lama. Situasi kelaparan memaksa Abraham untuk berangkat ke Mesir. Di sana ia coba menyelamatkan diri dengan memberdayakan Firaun (Kej 12:10-20). Dan pada kesempatan lain, setelah diketahui sang istrinya mandul, Abrham berusaha memeranakan Ismael dari Hagar hamba Sarai. Abraham mengira bahwa jalan menuju pemenuhan janji Allah mengenai keturunan kini sudah dibuka dengan hadirnya Ismael. Tetapi Allah tidak menyetujui tindakan Abraham. Ismael harus diusir karena ahli waris perjanjian adalah Ishak anak yang dihadiakan Allah sendiri kepada Abraham.
Abraham tetap belajar di bawah bimbingan Allah. Iman dan ketaatannya makin lama makin matang, sehingga ia bisa memasuki ujian terakhir. Kisah mengenai ujian itu dapat kita jumpai dalam Kej 22.
Allah menuntut kembali anak yang dihadiakanNya, jaminan pemenuhan janji-Nya." Ambilah anakmu yang tunggal itu yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran.
Dan Abraham yang sudah sering kali lemah itu, kali ini kuat dan taat. Lalu pergilah ia untuk mengembalikan kepada Tuhan apa yang pernah dihadiahkan-Nya. Membaca cerita ini kita hampir bisa merasakan perjuangan hebat di dalam diri Abraham. Pada permulaan cerita berjalan cepat dan lancar. Tetapi ketika mereka tiba di tempat yang ditunjuk Allah, ceritanya semaki lamban dan tersendat-sendat. Setiap detail disebut, seolah-olah pencerita sendiri takut mengantar cerita ke puncak ceritanya. Dan Abraham seolah-olah berjalan pelan-pelan supaya saat yang mengerikan itu tidak tiba terlalu awal.
Abraham harus memasuki ujian ini sampai sedalam-dalamnya, sehingga menurut pertimbangan manusiawi tidak ada harapan lagi. Hanya kegelapan. Sudah lama Abraham membangun seluruh hidupnya atas dasar janji Allah akan keturunan banyak. Sekarang anak tunggal, jaminan keturunan itu dituntut kembali. Bagaimana Allah mau memenuhi janji-Nya? Di sini kepercayaan Abraham harus mencapai puncaknya. Ia harus melepaskan jaminan terakhir dan mendasarkan hidupnya pada janji Allah dalam kegelapan tanpa melihat suatu kemungkinan bagaimana janji itu dapat dipenuhi.
Ternyata Abrahan bertahan dalam ujian terakhir ini dan menjadi bapa semua orang beriman. Ia berpegang teguh pada firman dan janji Tuhan meski mata manusia tidak mampu lagi melihat jalan bagaimana janji itu akan dipenuhi. Sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namu Abraham berharap dan percaya, bahwa ia akan menjadi bapa banyak bangsa menurut yang difirmankan: Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu (Rm 4:18).
Oleh karena ketaatan dan kepercayaan mutlak dari pihak Abraham, Allah bisa membarui dan mmperkuat janji-Nya" Aku bersumpah demi nama-Ku sendiri, demikianlah firman Tuhan. Karena engkau telah berbuat demikian, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku, maka Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan membuat keturunanmu sangat banyak...Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengar firman-Ku (Kej 22:16-18).
Eksistensi umat Israel ditentukan oleh janji dan tuntutan firman Allah. Dalam kisah mengenai Abraham dapat kita lihat dasar panggilan Israel. Ia diharapkan menjadi sebuah bangsa yang hidup seturut contoh Abraham itu, hidup dalam kepercayaan penuh akan janji dan jaminan yang diberikan Allah, Yahwe. Panggilan inilah menjadi tantangan bagi Israel. Dan dalam kenyataan mereka selalu mengingkari panggilan itu. Tetapi sebelum kita melihat bagaimana Israel selalu jatuh lagi dalam dua godaan besar, kita perlu menguraikan secara singkat panggilan Israel sebagai bangsa dalam peristiwa Eksodus.
Ketika itu Abram hidup dalam kebudayaan sekitar sungai Efrat. Penduduk di sana hidup dalam peradaban kota. Terah ayah Abram sendiri turut membangun sebuah kota bernama Haran. Abram dipanggil keluar dari kebudayaan kota dan harus memulai suatu cara hidup baru; hidup mengembara dari satu tempat ke tempat lain tanpa perlindungan sebagaimana yang dapat dialaminya dalam sebuah kota yang kokoh di zaman itu.
Tentu bukan maksudnya hidup mengembara lebih baik dan lebih berkenan di hati Allah daripada hidup di kota pada umumnya. Kota yang harus ditinggalkan atas perintah Allah adalah kota sebagaimana yang digambarkan dalam Kej 11; kota-kota yang didirikan manusia untuk menantang dan melawan Allah; kota-kota yang didirikan manusia untuk menggantikan Allah dengan kepandaian mereka. Abram harus meninggalkan kota itu dan mempersiapkan pembangunan sebuah kota yang lain sama sekali. Kita itu akan didirikan Allah sendiri. "Karena iman, Abraham taat ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ditujuinya...sebab ia menantikan kota yang mempunyai dasar yang direncanakan dan dibangun oleh Allah" (Ibr 11:8-10).
Karena itu jelas, hidup mengembara di sini bukan tujuan panggilan Allah, melainkan suatu sarana untuk memurnikan dan membebaskan Abram dari keterikatan pada jaminan manusiawi. Dengan meninggalkan kota bapanya, Abram tidak memiliki lagi pegangan dan jaminan lain kecuali firman Allah yang menjanjikan tanah baru baru dan keturunan. Situasi inilah yang menjadi latar belakang pembentukan dan pendidikan iman Abram serta keturunannya menurut firman Allah. Dengan meninggalkan jaminan-jaminan yang dibuatnya sendiri, Abram memercayakan diri kepada janji yang diberikan Allah.
Tetapi jalan pembentukan iman kepercayaan itu memang panjang. Tidak lama setelah berangkat menanti firman Tuhan, Abraham jatuh ke dalam sikap yang lama. Situasi kelaparan memaksa Abraham untuk berangkat ke Mesir. Di sana ia coba menyelamatkan diri dengan memberdayakan Firaun (Kej 12:10-20). Dan pada kesempatan lain, setelah diketahui sang istrinya mandul, Abrham berusaha memeranakan Ismael dari Hagar hamba Sarai. Abraham mengira bahwa jalan menuju pemenuhan janji Allah mengenai keturunan kini sudah dibuka dengan hadirnya Ismael. Tetapi Allah tidak menyetujui tindakan Abraham. Ismael harus diusir karena ahli waris perjanjian adalah Ishak anak yang dihadiakan Allah sendiri kepada Abraham.
Abraham tetap belajar di bawah bimbingan Allah. Iman dan ketaatannya makin lama makin matang, sehingga ia bisa memasuki ujian terakhir. Kisah mengenai ujian itu dapat kita jumpai dalam Kej 22.
Allah menuntut kembali anak yang dihadiakanNya, jaminan pemenuhan janji-Nya." Ambilah anakmu yang tunggal itu yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran.
Dan Abraham yang sudah sering kali lemah itu, kali ini kuat dan taat. Lalu pergilah ia untuk mengembalikan kepada Tuhan apa yang pernah dihadiahkan-Nya. Membaca cerita ini kita hampir bisa merasakan perjuangan hebat di dalam diri Abraham. Pada permulaan cerita berjalan cepat dan lancar. Tetapi ketika mereka tiba di tempat yang ditunjuk Allah, ceritanya semaki lamban dan tersendat-sendat. Setiap detail disebut, seolah-olah pencerita sendiri takut mengantar cerita ke puncak ceritanya. Dan Abraham seolah-olah berjalan pelan-pelan supaya saat yang mengerikan itu tidak tiba terlalu awal.
Abraham harus memasuki ujian ini sampai sedalam-dalamnya, sehingga menurut pertimbangan manusiawi tidak ada harapan lagi. Hanya kegelapan. Sudah lama Abraham membangun seluruh hidupnya atas dasar janji Allah akan keturunan banyak. Sekarang anak tunggal, jaminan keturunan itu dituntut kembali. Bagaimana Allah mau memenuhi janji-Nya? Di sini kepercayaan Abraham harus mencapai puncaknya. Ia harus melepaskan jaminan terakhir dan mendasarkan hidupnya pada janji Allah dalam kegelapan tanpa melihat suatu kemungkinan bagaimana janji itu dapat dipenuhi.
Ternyata Abrahan bertahan dalam ujian terakhir ini dan menjadi bapa semua orang beriman. Ia berpegang teguh pada firman dan janji Tuhan meski mata manusia tidak mampu lagi melihat jalan bagaimana janji itu akan dipenuhi. Sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namu Abraham berharap dan percaya, bahwa ia akan menjadi bapa banyak bangsa menurut yang difirmankan: Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu (Rm 4:18).
Oleh karena ketaatan dan kepercayaan mutlak dari pihak Abraham, Allah bisa membarui dan mmperkuat janji-Nya" Aku bersumpah demi nama-Ku sendiri, demikianlah firman Tuhan. Karena engkau telah berbuat demikian, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku, maka Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan membuat keturunanmu sangat banyak...Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengar firman-Ku (Kej 22:16-18).
Eksistensi umat Israel ditentukan oleh janji dan tuntutan firman Allah. Dalam kisah mengenai Abraham dapat kita lihat dasar panggilan Israel. Ia diharapkan menjadi sebuah bangsa yang hidup seturut contoh Abraham itu, hidup dalam kepercayaan penuh akan janji dan jaminan yang diberikan Allah, Yahwe. Panggilan inilah menjadi tantangan bagi Israel. Dan dalam kenyataan mereka selalu mengingkari panggilan itu. Tetapi sebelum kita melihat bagaimana Israel selalu jatuh lagi dalam dua godaan besar, kita perlu menguraikan secara singkat panggilan Israel sebagai bangsa dalam peristiwa Eksodus.
0 Response to "Panggilan Abraham: Dasar Panggilan Dan Tugas Israel"
Posting Komentar